Membangun Sistem Keuangan Partai
Dua pekan lalu, saya banyak dikejar wartawan untuk menjawab pertanyaan, "Apakah benar PKS menerima dana dari Cagub Sulsel Ilham Arif Sirajudin dalam Pilgub yang baru lalu?" Saya jawab, "Silakan dibuka dan diusut sampai tuntas. Kalau perlu bongkar praktik ini. Karena perilaku partai yang hanya menjual perahu/kendaraan bagi calon kepala daerah yang ingin maju Pilkada sebenarnya bertentangan dengan niat awal mendirikan partai untuk berjuang.
Perilaku ini juga membuat partai masuk ke dalam lubang jebakan yang mengingkari fungsi dari partai itu sendiri sebagai wasilah bagi ajang kaderisasi. Alih-alih mendukung kader internal yang berkapasitas, yang bisa jadi tidak memiliki kekuatan finansial, menjadi dukungan bagi siapa yang membayar.
Dua pekan lalu, saya banyak dikejar wartawan untuk menjawab pertanyaan, "Apakah benar PKS menerima dana dari Cagub Sulsel Ilham Arif Sirajudin dalam Pilgub yang baru lalu?" Saya jawab, "Silakan dibuka dan diusut sampai tuntas. Kalau perlu bongkar praktik ini. Karena perilaku partai yang hanya menjual perahu/kendaraan bagi calon kepala daerah yang ingin maju Pilkada sebenarnya bertentangan dengan niat awal mendirikan partai untuk berjuang.
Perilaku ini juga membuat partai masuk ke dalam lubang jebakan yang mengingkari fungsi dari partai itu sendiri sebagai wasilah bagi ajang kaderisasi. Alih-alih mendukung kader internal yang berkapasitas, yang bisa jadi tidak memiliki kekuatan finansial, menjadi dukungan bagi siapa yang membayar.
Pertanyaan lanjutannya mungkin adalah, "Lalu dari mana partai dapat dana untuk menggerakkan mesin politiknya?"
Pertanyaan ini penting dan wajib dijawab. Karena dari sinilah seringkali perilaku koruptip seolah mendapat pembenaran. Bahwa untuk menjalankan mesin potik itu mahal. Memobilisasi kader dan simpatisan itu perlu dana. Mengumpulkan orang perlu disiapkan makan dan transport-nya. Belum lagi segala atribut dan embel-embelnya.
Ujung akhirnya adalah pernyataan bahwa demokrasi itu mahal. Demokrasi itu ada harganya. Tapi betulkah teori ini?
Dalam pandangan saya, yang menggeluti dunia politik sebagai lanjutan dari pergerakan menghidupkan kekuatan umat, pandangan bahwa politik dan demokrasi itu mahal adalah SALAH. Nilai nilai dakwah dan pergerakan erat kaitannya dengan sentuhan hati, membangun kekuatan umat dan beramal berbasis keikhlasan.
Sesuatu menjadi mahal karena kita tidak memproduksinya, tapi kita membelinya. Pilkada, pemilu dan demokrasi menjadi MAHAL jika kita kita fokus pada membeli suara, membeli dukungan dan membeli pengaruh. Tapi semua menjadi MURAH jika kita memproduksi amal yang memesona, jika kita tulus membangun kekuatan partai berlandaskan amal khidami (pelayanan) dan kerja-kerja pemberdayaan.
Politik jadi murah jika kita dapat bersinergi dengan wajihah (lembaga-lembaga) sosial, lembaga pelayanan, lembaga pemberdayaan, lembaga pendidikan dan lembaga ekoomi umat yang selama ini telah tekun membangun umat melalui kerja-kerja prestatif; tanpa berita, tanpa tokoh dan tanpa pamrih.
Bahkan kita bisa menjalankan partai berbasis pada prinsip-prinsip dakwah yang membela kepentingan publik, kepentingan dhuafa, kepentingan bangsa diiringi dengan perilaku seorang mujahid yang sedang berjuang dalam bingkai kesederhanaan, komitmen akhlaqul karimah dan menjadi pelayan masyarakat, saya yakin dukungan masyarakat akan sangat tinggi.
Pertanyaan ini penting dan wajib dijawab. Karena dari sinilah seringkali perilaku koruptip seolah mendapat pembenaran. Bahwa untuk menjalankan mesin potik itu mahal. Memobilisasi kader dan simpatisan itu perlu dana. Mengumpulkan orang perlu disiapkan makan dan transport-nya. Belum lagi segala atribut dan embel-embelnya.
Ujung akhirnya adalah pernyataan bahwa demokrasi itu mahal. Demokrasi itu ada harganya. Tapi betulkah teori ini?
Dalam pandangan saya, yang menggeluti dunia politik sebagai lanjutan dari pergerakan menghidupkan kekuatan umat, pandangan bahwa politik dan demokrasi itu mahal adalah SALAH. Nilai nilai dakwah dan pergerakan erat kaitannya dengan sentuhan hati, membangun kekuatan umat dan beramal berbasis keikhlasan.
Sesuatu menjadi mahal karena kita tidak memproduksinya, tapi kita membelinya. Pilkada, pemilu dan demokrasi menjadi MAHAL jika kita kita fokus pada membeli suara, membeli dukungan dan membeli pengaruh. Tapi semua menjadi MURAH jika kita memproduksi amal yang memesona, jika kita tulus membangun kekuatan partai berlandaskan amal khidami (pelayanan) dan kerja-kerja pemberdayaan.
Politik jadi murah jika kita dapat bersinergi dengan wajihah (lembaga-lembaga) sosial, lembaga pelayanan, lembaga pemberdayaan, lembaga pendidikan dan lembaga ekoomi umat yang selama ini telah tekun membangun umat melalui kerja-kerja prestatif; tanpa berita, tanpa tokoh dan tanpa pamrih.
Bahkan kita bisa menjalankan partai berbasis pada prinsip-prinsip dakwah yang membela kepentingan publik, kepentingan dhuafa, kepentingan bangsa diiringi dengan perilaku seorang mujahid yang sedang berjuang dalam bingkai kesederhanaan, komitmen akhlaqul karimah dan menjadi pelayan masyarakat, saya yakin dukungan masyarakat akan sangat tinggi.
Pola hubungan partai dengan masyarakat dan kader yang merasa satu perjuangan, satu hati, satu rasa dan satu tujuan akan membuat partai benar-benar menjadi wadah perjuangan bagi umat, bagi rakyat dan bagi bangsa. Jika ini terjadi maka, politik biaya rendah, sumbangan dari publik dan kader yang tinggi diikuti dengan keterbukaan, kejujuran pengelolaan keuangan serta ketulusan bahwa ini perjuangan bersama niscaya akan menjadi politik dan partai politik taman yang indah bagi rumah perjuangan kita bersama.
Bulan lalu dalam perjalanan pulang dari Yogya saya kebetulan duduk berdampingan dengan Pak Abraham Samad. Kami berdua naik kelas ekonomi. Kita bertukar salam. Ada yang mengganjal di hati saya, kenapa beliau, yang ketua KPK mau naik ekonomi. Jawabannya membuat saya tersentuh, "Dekat saja khan". Artinya pilihan kelas ekonomi ketimbang bisnis adalah pilihan kesadaran diri.
Sama seperti pilihan beberapa kepala daerah yang lebih memilih menggunakan kendaran Kijang Innova atau hidup dengan perilaku sederhana. Kisah Jokowi yang kian memesona publik memberi kesan jelas bahwa, politik bisa jadi sarana mempesona publik. Bahwa parpol mestinya bisa membuat orang menjadi bersemangat dalam menata negeri.
Bulan Mei lalu, saya ikut Latihan Gabungan TNI di Jawa Timur. Saat makan malam saya berdampingan dengan Mantan Kasad FX Sudarmin. Tahu saya dari PKS, beliau berkata, "Saya pendukung PKS sejak dulu. Tapi sejak kasus korupsi sapi saya tidak lagi jadi pendukung".
Suara pada Pak Sudarmin yang Katolik, militer dan pendukung PKS di awal menunjukkan bahwa partai Islam yang teguh dengan prinsip dan berperilaku sederhana, tulus dan prestatif tetap dipercaya oleh semua golongan.
Jadi bagaimana cara kita membangun keuangan partai? Tidak bisa dilepaskan dari cara kita membangun partai. Jika kita jalankan amanah perjuangan partai ini dengan mengikut manhaj dakwah yang tulus, beramal, bersahaja, tekun dan prestatif maka sistem keuangan partai akan didukung oleh bukan cuma kader tapi juga publik.
Justru publik kini rindu dengan partai yang asketis, partai yang menunjukkan ciri perjuangan dan partai yang dijalankan dengan tujuan jauh dari ambisi dan kepentingan pribadi. Bisakah kita laksanakan? Kata Nabi, "Ibda binafsika"! Mari kita mulai dari diri sendiri. Wallahu a' lam bishawab.
Bulan lalu dalam perjalanan pulang dari Yogya saya kebetulan duduk berdampingan dengan Pak Abraham Samad. Kami berdua naik kelas ekonomi. Kita bertukar salam. Ada yang mengganjal di hati saya, kenapa beliau, yang ketua KPK mau naik ekonomi. Jawabannya membuat saya tersentuh, "Dekat saja khan". Artinya pilihan kelas ekonomi ketimbang bisnis adalah pilihan kesadaran diri.
Sama seperti pilihan beberapa kepala daerah yang lebih memilih menggunakan kendaran Kijang Innova atau hidup dengan perilaku sederhana. Kisah Jokowi yang kian memesona publik memberi kesan jelas bahwa, politik bisa jadi sarana mempesona publik. Bahwa parpol mestinya bisa membuat orang menjadi bersemangat dalam menata negeri.
Bulan Mei lalu, saya ikut Latihan Gabungan TNI di Jawa Timur. Saat makan malam saya berdampingan dengan Mantan Kasad FX Sudarmin. Tahu saya dari PKS, beliau berkata, "Saya pendukung PKS sejak dulu. Tapi sejak kasus korupsi sapi saya tidak lagi jadi pendukung".
Suara pada Pak Sudarmin yang Katolik, militer dan pendukung PKS di awal menunjukkan bahwa partai Islam yang teguh dengan prinsip dan berperilaku sederhana, tulus dan prestatif tetap dipercaya oleh semua golongan.
Jadi bagaimana cara kita membangun keuangan partai? Tidak bisa dilepaskan dari cara kita membangun partai. Jika kita jalankan amanah perjuangan partai ini dengan mengikut manhaj dakwah yang tulus, beramal, bersahaja, tekun dan prestatif maka sistem keuangan partai akan didukung oleh bukan cuma kader tapi juga publik.
Justru publik kini rindu dengan partai yang asketis, partai yang menunjukkan ciri perjuangan dan partai yang dijalankan dengan tujuan jauh dari ambisi dan kepentingan pribadi. Bisakah kita laksanakan? Kata Nabi, "Ibda binafsika"! Mari kita mulai dari diri sendiri. Wallahu a' lam bishawab.
Semoga bermanfaat....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar