Halaman

Sabtu, 05 Oktober 2013

Harga Sebuah Keikhlasan....

Tulisan ini aku sadur persis dari Novelnya Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra, berjudul " 99 Cahaya di Langit Eropa". Aku ambil di salah satu bagian cerita dengan latar belakang di Wina. Berikut ceritanya :

Boleh percaya boleh tidak. Buka sulap bukan sihir. Restoran ala Pakistan yang sungguh ajaib untuk praktisi bisnis itu memang benar-benar ada. Namanya Der Wiener Deewan. Tempatnya di pinggir jalan bersaingan dengan Fresco, restoran ala Meksiko, yang menjual tacos dan tortilla. Plang Der Wiener Deewan dibubuhi slogan yang sensasional "All You Can Eat. Pay As You Wish. Makan sepuasnya, bayar seikhlasnya".
"Kalau di Jakarta, pasti sudah bangkrut." Itu komentar pertama Rangga membaca slogan restoran tersebut. Aku sepakat dengan Rangga. Di Jakarta tak kurang dari seminggu, restoran seperti itu pasti bubar jalan. Membayankan para sopir bus dan angkot, pedagang asongan, dan pengangguran akan menyerbu tempat itu. Menjadikan markas dan tempat tongkrongan sehari-hari. Sudah bisa ditebak seperti apa nasib restoran itu.
Tapi di atas itu semua, restoran tipe ini mungkin belum cocok untuk budaya Indonesia. Tidak ada sistem kejujuran atau pengendalaian diri yang dicontohkan oleh para pemimpin. Mana mungkin mengharapkan kejujuran apalagi keikhlasan pada akar rumput yang perutnya hanya dijejali angin dan derita tada purna? Jangankan restoran, penerbitkoran yang dijual di tinag listrik juga takkan pernah mau terbit lagi!.

Begitu membuka pintu masuk, bau makanan langsung merasuk hidung. Sudah bisa dipastikan bau gulai dan kari yang paling mendominasi. Mataku tertumbuk pada meja buffet yang dipasang tepat di pintu masuk. Baskom-baskom dan mangkok-mangkok raksasa disuguhkan di atasnya. Sebuah kuali berbadan besar berada di sampingnya. Lagi-lagi aku salah duga. Aku meremehkan tempat ini. Restoran Pakistan ini benar-benar memutarbalikan konsep bisnis di dunia. Sayur hanya disediakan sebagai pelengkap. Selebihnya adalah daging, buah, dan aneka ragam pencuci mulutyang menempati baskom dan mangkok itu. Dagingnya pun komplit dari kambing, ayam, hingga sapi. Daging babi sudah pasti absen karena tidak lulus ujian "Halal Food" yang ditulis besar-besar di dinding warung. Dan tentu saja sebagai penyedia makanan Asia, Deewan menawarkan pilihan kentang atau nasi putih panas bagi pelanggannya. Suamiku menjadi orang yang paling kaget. Rumah makan ini menabrak semua teori ekonomi dan bisnis yang pernah dia pelajari.
"Kami di sini!" Fatma berteriak memanggil kami. Dia sudah memesan meja untuk makan malam 2 keluarga kecil ini. Tampak dia bersama Ayse dan seorang pria.
"Kenalkan ini Selim, suamiku. Kau pasti Rangga, ya? Kita langsung ambil makan saja, oke?" ucap Fatma dalam bahasa Jerman.
Kami pun saling  memperkenalkan suami masing-masing, lalu hijrah bergantian ke meja buffet yang sudah memanggil-manggil.
Selim adalah seorang imigran Turki yang bekerja di toko elektronik. Dia intensif bergaul dengan kawan sesama Arab di Wina. Pergaulan luas memperkenalkannya dengan seorang Pakistan pemilik rumah makan Deewan. Dia sedikit lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan Fatma. Dan itu melegakan Rangga suamiku yang kurang lihai berbahasa Jerman.
Begitu kembali dari meja buffet, Rangga langsung menembak Selim dengan pertanyaan yang dari tadi terus berputar di otaknya: konsep dan strategi bisinis makanan macam apa yang diterapkan restoran ini."Konsep  ikhlas memberi dan menerima. Take and give. Natalis Deewan percaya bahwa sisi terindah dari manusia yang sesungguhnya adalah kedermawanan."
Rangga dan aku terdiam mendengar jawaban Selim. Berusaha menyelami logika manusia yang digunakan Natalie, pemilik Der Wiener Deewan. Kami langsung paham.Untuk manusia yang sudah memiliki teori kehidupan yang tinggi itu memang susah dibenturkan dengan segala macam perhitungan yang transaksional. Natalie Deewan, seorang lulusan ilmu filsafat taka hanya bicara dan mengeluarkan dogma-dogma, tapi langsung praktik membuktikan kepercayaan teorinya dalam kehidupan sehari-hari.
"Dan ini adalah ajaran Islam yang sangat mendasar. Berderma dan berzakat membersihkan diri sepanjang waktu," Fatma menambahkan.
Mataku menatap sebuah tulisan kecil yang dipasan di dinding: Seit 2003. Sejak 2003. Janji Allah agar umatnya "ikhlas berderma, bersedekah, berzakat,, atau apa pun istilahnya, niscaya akan bertambah kaya" memang benar-benar terbukti. Kalau tidak, mana mungkin Natalie bisa bertahan bertahun-tahun tanpa keuntungan alias tekor tak berkesudahan? Warungnya saja sudah berdiri di areal jantung kota Wina yang bernama Schottentor, yang pasti memorot uang sewa habis-habisan.
Sekali lagi, Natalie Deewan, siapapun dia, seorang agen muslim sejati. Dia mempromosikan ajaran Islam tentang ikhlas bukan dengan ucapan yang hanya berhenti di mulut. Dia menggelarnya menjadi sebuah kedai makanan kerelaan antara penjual dan pembeli.
Ya, pembelinya pun harus memiliki konsep yang sama. Jika pembeli tak mau mengakui makanan yang masuk dalam perutnya adalah berkah kehidupan, tak mau mengakui makanan yang dia telan enak, bergizi, dan menyehatkan padahal berpiring-piring sudah dia habiskan, Natalie pasti gulung tikar secepat mata berkedip. Tetapi karena para pembeli memberi penghargaan yang besar terhadap arti keikhlasan, Natalie dengan warung Deewannya tak pernah sepi. Uang terus mengalir sebagai bukti ucapan Tuhan: "Bersyukurlah, maka akan Kutambah nikmat-Ku padamu."
Lagi-lagi aku berterima kasih kepada Fatma karena telah mengajakku ke Deewan. Kami mendapatkan pelajaran hidup tentang Islam sesungguhnya, justru bukan di negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, tetapi di sebuah restoran kecil Pakistan bernama Deewan di Austria.
Di depan kasir, aku teringat kembali pada petuah ayahku, Amien Rais: "Jika kau puas dengan pelayanan di restoran, berilah tip kepada pelayan seharga kepuasanmu." Dan harga kepuasan inilah yang tidak bisa ditebak. Begitu juga dengan aku dan suamiku yang hari itu bersantap lengkap dari makanan pembuka, utama, dan penutup ala Pakistan tanpa tahu berapa banderolnya.
Rangga menyodorkan 30 Euro kepada seorang pria di meja kasir. Sang kasir terbelalak, agaknya fair fare di restoran itu hanyalah 3 hingga 8 Euro per orang. Suamiku berkata, "Makanannya enak. Memuaskan, Dan itu belum sepadan dengan keikhlasan yang kau contohkan."

Begitulah salah satu bagian cerita yang ada dalam novel tersebut. Sebuah keikhlasan yang tidak ternilai harganya. Kadang kala aku juga berfikir, kenapa negeri ini yang merupakan negeri timur yang memegang norma adat ketimuran tidak bisa memberikan kenyamanan dalam aktifitas kehidupan sehari-hari. Dalam berbisnis dan berinteraksi masih saja timbul rasa tidak percaya dan tidak ikhlas.
Keikhlasan memang perlu dipahami secara mendalam untuk mendapatkan ketentraman hati dalam menjalankan kehidupan kita di dunia ini.
Masih banyak cerita-cerita inspiratif yang lainnya dari novel tersebut. Sangat menarik dan menggugah semangat untuk menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan ini.

Semoga bermanfaat....

Sumber:
- Hanum Salsabiela Rais - Rangga Almahendra, 99 Cahaya di Langit Eropa (Perjalanan Menapak Jejak Islam di Eropa, Gramedia Pustaka Utama, 2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar