Halaman

Senin, 08 April 2013

Prinsip-prinsip Perencanaan Bangunan Gedung Tahan Gempa

Sumber : www.bisnis.com
Indonesia termasuk wilayah yang dilalui jalur gempa dunia. Secara geologis Indonesia terletak pada 2 jalur gempa, yaitu 1. Jalur Sircum Pasific yang meliputi daerah-daerah Chili, Equador, Caribia, Amerika Tengah, Mexico, California, Columbia, Alaska, Jepang, Taiwan, Indonesia (Sulawesi Utara, Irian), Selandia Baru dan negara-negara Polinesia, dan 2. Jalur Sircum Trans Asia meliputi daerah-daerah Azores, Mediterania Maroko, Portugal, Italia, Rumania, Turki, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Myanmar, Indonesia (Bukit Barisan, Lepas pantai selatan pulau Jawa, Kepulauan Sunda Kecil dan Maluku).
Secara geografis Indonesia terletak pada 3 pertemuan lempeng utama dunia yaitu lempeng  IndoAustralia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng Eurasia dan Indo-Australia bertumbukan di lepas pantai barat pulau Sumatera, lepas pantai selatan pulau Jawa, lepas pantai selatan kepulauan Nusa Tenggara, dan berbelok ke arah utara ke perairan Maluku sebelah selatan, sedangkan lempeng Australia dan Pasifik bertumbukan di sekitar Pulau Papua. Sementara itu, pertemuan antara ketiga lempeng tersebut terjadi di sekitar Sulawesi. Karena itu, Indonesia termasuk wilayah yang sering terjadi gempa. Apalagi akhir-akhir ini banyak daerah-daerah di Indonesia yang mengalami bencana gempa bumi.

Sumber :aj1-inside.blogspot.com

Karena Indonesia merupakan daerah rawan gempa, para pakar Teknik Sipil mencoba untuk memberikan sosialisasi teknik membangun bangunan tahan gempa. Ada beberapa prinsip yang dapat memberikan arahan tentang perencana, denah, pondasi dan struktur bangunan gedung yang bisa diterapkan untuk masyarakat, agar bangunan yang akan dibangun dapat menahan goncangan gempa bumi.

Prinsip-prinsip Bangunan Tahan Gempa.
  1. Perencanaan gedung tahan gempa harus sederhana dan kompak. Struktur yang menerima beban dan bagian bangunan yang tidak menerima beban harus dianggap sebagai satu kesatuan yang saling mempengaruhi.
  2. Gedung harus ringan. Makin berat sebuah gedung, makin besar daya massa jika terjadi gempa bumi. Makin tinggi gedung, harus makin ringan. Kontruksi atap yang berat dapat membahayakan struktur dibawahnya.
  3. Struktur yang direncanakan harus sesederhana mungkin. Struktur yang sederhana akan tahan pada kondisi gempa bumi yang keras.
  4. Denah sebaiknya direncanakan agak simetris, berbentuk segi empat sama sisi, atau lingkaran.
  5. Tinggi gedung sebaiknya tidak melebihi empat kali lebar gedung.
  6. Struktur gedung sebaiknya monolit, berarti seluruh struktur gedung dikonstruksikan dengan bahan yang sama karena pada saat gempa bumi bahan bangunan yang berbeda akan memberikan reaksi berbeda pula.
  7. Ketebalan pelat lantai dan ketinggina balok sebaiknya lebih besar dari pada biasanya utnuk menghindari getaran vertika sejauh mungkin. Balok tidak boleh dibuat lebih lebar dari pada tiang tumpuannya agar tidak terjadi tegangan tambahan.
  8. Ringbalok horizontal pada setiap tingkat dengan batang tarik diagonal dapat meningkatkan kestabilan gedung.
  9. Pondasi juga harus sesederhana dan sekuat mungkin sehingga tidak akan patah pada saat gempa. Sebainya dipilih pelat lantai beton bertulang atau pondasi lajur dengan sloof beton bertulang. Pondasi setempat sebaiknya dihindarkan.
  10. Reaksi suatu gedung pada saat gempa bumi tergantung pada cara pembangunan dan bukan pada cara perencanaan. Maka, sangat pentinglah manajemen bangunan dan pengawasan saat pelaksanaan yang akan menjamin kualitas bangunan. Disamping itu, pemeliharaan dan perawatan bangunan dapat mempengaruhi kestabilan gedung saat gempa bumi.
  11. Perubahan pada suatu gedung akibat pembangunan tambahan dan perubahan harus dilakukan secara cermat karena dapat mengubah kestabilan gedung terhadap gempa bumi.
(Sumber : Heinz Frick - Tri Hesti Mulyani, Pedoman Bangunan Tahan Gempa,
                           Penerbit Kanisius - Lembaga Pendidikan Lingkungan-manusia-bangunan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar