Halaman

Senin, 07 Oktober 2013

Sebuah Kerinduan....

Tulisan ini aku kutip di detiknews.com mengenai kerinduan akan manhaj dakwah yang tulus dan bersahaja dari Ustdaz Mardani Alisera (Kabid. Humas DPP PKS). Berikut tulisannya :

Membangun Sistem Keuangan Partai

Dua pekan lalu, saya banyak dikejar wartawan untuk menjawab pertanyaan, "Apakah benar PKS menerima dana dari Cagub Sulsel Ilham Arif Sirajudin dalam Pilgub yang baru lalu?" Saya jawab, "Silakan dibuka dan diusut sampai tuntas. Kalau perlu bongkar praktik ini. Karena perilaku partai yang hanya menjual perahu/kendaraan bagi calon kepala daerah yang ingin maju Pilkada sebenarnya bertentangan dengan niat awal mendirikan partai untuk berjuang. 

Perilaku ini juga membuat partai masuk ke dalam lubang jebakan yang mengingkari fungsi dari partai itu sendiri sebagai wasilah bagi ajang kaderisasi. Alih-alih mendukung kader internal yang berkapasitas, yang bisa jadi tidak memiliki kekuatan finansial, menjadi dukungan bagi siapa yang membayar.

Pertanyaan lanjutannya mungkin adalah, "Lalu dari mana partai dapat dana untuk menggerakkan mesin politiknya?"

Sabtu, 05 Oktober 2013

Harga Sebuah Keikhlasan....

Tulisan ini aku sadur persis dari Novelnya Hanum Salsabiela dan Rangga Almahendra, berjudul " 99 Cahaya di Langit Eropa". Aku ambil di salah satu bagian cerita dengan latar belakang di Wina. Berikut ceritanya :

Boleh percaya boleh tidak. Buka sulap bukan sihir. Restoran ala Pakistan yang sungguh ajaib untuk praktisi bisnis itu memang benar-benar ada. Namanya Der Wiener Deewan. Tempatnya di pinggir jalan bersaingan dengan Fresco, restoran ala Meksiko, yang menjual tacos dan tortilla. Plang Der Wiener Deewan dibubuhi slogan yang sensasional "All You Can Eat. Pay As You Wish. Makan sepuasnya, bayar seikhlasnya".
"Kalau di Jakarta, pasti sudah bangkrut." Itu komentar pertama Rangga membaca slogan restoran tersebut. Aku sepakat dengan Rangga. Di Jakarta tak kurang dari seminggu, restoran seperti itu pasti bubar jalan. Membayankan para sopir bus dan angkot, pedagang asongan, dan pengangguran akan menyerbu tempat itu. Menjadikan markas dan tempat tongkrongan sehari-hari. Sudah bisa ditebak seperti apa nasib restoran itu.
Tapi di atas itu semua, restoran tipe ini mungkin belum cocok untuk budaya Indonesia. Tidak ada sistem kejujuran atau pengendalaian diri yang dicontohkan oleh para pemimpin. Mana mungkin mengharapkan kejujuran apalagi keikhlasan pada akar rumput yang perutnya hanya dijejali angin dan derita tada purna? Jangankan restoran, penerbitkoran yang dijual di tinag listrik juga takkan pernah mau terbit lagi!.